bojonegorokab.go.id - Corporate social responsibilty (CSR) harus menjadi alat wujudkan pembangunan berkelanjutan bagi perusahaan. Hal itu disampaikan oleh Bupati Bojonegoro Suyoto, dalam RPDU komisi III DPD RI, Jakarta 25 April 2016.
Pertama-tama perlu dipertegas mengapa UU CSR diperlukan, untuk siapa dan untuk apa?
Menurut Kang Yoto sapaan akrab bupati Bojonegoro, UU CSR diperlukan untuk mengurangi praktek salah atas CSR sendiri. "Dalam pengamatan saya CSR sering dibelokkan mengikuti kepentingan masing-masing. Tidak aneh bila ditemukan CSR menjadi alat bagi rakyat meminta, alat perusahan untuk tutup mulut, alat LSM cari kerja dan alat politisi untuk jadi pahlawan," jelas Kang Yoto.
Kondisi ini lanjut dia, dimungkinkan karena rujukan regulasi yang selama ini masih menekan kepentingan salah satu pihak. Keputusan Menteri BUMN Per-05/MBU/2007 mengatur urusan internal perusahaan bagaimana menyalurkan dana lewat program dan bantuan.
"UU Perseroan Terbatas nomor 40 tahun 2007 lebih menitikberatkan kewajiban penganggaran dan kepatuhan-kewajaran dalam pelaksanaannya. Demikian juga PP yang menjadi turunannya," tegasnya.
Ditambahkan, UU Penanam Modal nomor 25 tahun 2007 subject utama perusahaan dan sanksinya. Untuk pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak hak masyarakat adat diatur dalam UU minyak dan Gas Bumi nomor 22 tahun 2001.
"Soal dana crs juga disebutkan sebagai sumber program pengentasan kemiskinan, sebagaimana termaktup dalam UU nomor 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin," imbuhnya.
Permensos RI nomor 13 tahun 2012 mengatur adanya forum tanggungjawab sosial Kemitraan perusahaan dan Pemerintah. Jadi belum ada UU yang mendorong adanya collaborative action diantara stakeholder.
"Hal mendasar yang perlu disepakati lebih dahulu, CSR harus menjadi alat bagi terwujudnya sustainable development dengan semangat sdgs. Sehingga bagi perusahaan menjadi bagian strategis pengembangan bisnis," tandasnya.
Tidak ada perusahaan yang tumbuh berkembang secara berkelanjutan kecuali wujudkan tanggungjawab sosial secara internal dan dengan lingkungan bisnisnya.
Dengan cara pandang tersebut maka UU csr harus menjadi alat yang mendorong dan memaksa penguasa, lingkungan sosial dan perusahaan untuk saling memahami kunci sinergitas yang diperlukan untuk mendukung misi masing masing.
"Jadi UU ini tidak boleh menjadi alat untuk saling menegasikan diantara stake holder," tegas Kang Yoto.
Hal hal yang perlu dipertemukan untuk saling sinergi, bagaimana mekanisme, kontrol dan sangsinya.....
Pertama: memastikan adanya forum untuk saling bertemu, dan dalam tahap apa saja harus bertemu
Kedua: perjelas niat, misi, visi masing masing.
Ketiga: adanya rumusan apa yang harus ada dan yang tidak boleh ada dalam dalam menjamin pertumbuhan berkelanjutan.
Keempat: mekanisme keterbukan untuk saling memperkuat komitmen para pihak dan menumbuhkan saling percaya.
Kelima: mengingat capaian sdgs itu menjadi tanggungjawab masing masing stake holder maka UU ini harus Memastikan adanya mekanisme assessment terhadap kondisi kekinian, rencana aksi, kontribusi masing masing. Sesuai tanggungjawab masing. Adanya CSR sama sekali tidak untuk menggantikan tanggungjawab pembangunan oleh Pemerintah. (Rik/Kominfo)