bojonegorokab.go.id - Setelah sukses mengembangkan kerajinan batik Jonegaran, kini Bojonegoro mulai merambah ke tenun. Tenun dengan motif batik jonegoroan itu sekarang ini tengah digeluti Muhamad Alim warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Sumberejo.
Alim menuturkan, baginya tenun bukan barang baru lagi. Laki-laki berusia 37 tahun ini sudah menekuni tenun secara otodidak sejak tahun 2010 lalu. Yakni ketika dirinya bekerja di sebuah pabrik tenun di Kabupaten Kediri kurang lebih 2 tahun, lalu berpindah ke Lamongan.
Semenjak berpindah di Lamongan inilah, Alim mulai mendapatkan kepercayaan untuk membuat tenun di Desa Kedungrejo. Pada tahun 2012 lalu, Alim memperoleh bantuan alat tenun bukan mesin (ATBM) secara percuma dari bosnya.
Setelah memperoleh bantuan alat, semangat suami Ilil Maefia untuk mengembangkan tenun kian menyala. Ia kemudian mengajak warga sekitar khususnya kaum ibu dan remaja putri untuk menekuni usaha tenun.
Karena hasil tenunnya memuaskan, Alim mendapatkan bantuan lagi 2 ATBM. Kini alat tenun yang dimiliki sejumlah 7 unit dengan 2 unit tenun kain batik dan 5 merupakan alat tenun sarung.
Kemudian pada 27 Oktober 2014, Alim mulai digandeng Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bojonegoro untuk mengembangkan tenun khas Jonegoroan yang mengadopsi 14 motif batik khas jonegoroan. "Saat ini ada 5 pekerja yang membantu saya menggarap sarung tenun dan kain tenun khas jonegoroan," ujar Alim.
Dia menceritakan dari 120 kain tenun yang dibuatnya kemarin habis terjual di acara launching tenun Jonegoroan. Dalam minggu-minggu ini dirinya akan mulai menggarap tenun khas jonegoroan, hanya saja saat ini alat tenunnya memerlukan sedikit perbaikan. "Ada sedikit goncangan. Beberapa benang putus saat dibawa kemarin," ujarnya.
Dia menurutkan harga tenun ini relatif lebih mahal dibandingkan batik, karena tingkat kerumitan pembuatan tenun. Pembuatan tenun diawali dengan tahapan pertama adalah Gubin atau memintal benang putih menjadi gulungan kecil. Kemudian tahapan mlangkang atau membuat pola, digambar sesuai pola yang diinginkan. Setelah itu benang diikat dengan rafia dan kemudian dilepas dan tahapan selanjutnya adalah pewarnaan.
"Baru kemudian benang akan disusun dalam 2.970 gun atau jarum," jelasnya.
Alim mengungkapkan, tahapan memasukkan benang kedalam Gun ini memang harus ekstra hati hati, jika salah satu gun saja maka akan berpengaruh pada hasil tenun. Dari proses inilah maka harga tenun jauh lebih mahal, untuk sarung saja dijual dengan harga Rp150 ribu sampai dengan Rp250 ribu.
Sedangkan untuk kain tenun seharga Rp170 ribu untuk ukuran 105 centimeter x 225 centimeter. Setiap minggu dirinya mampu menghasilkan 20 buah sarung dari 5 alat tenun. "Sedangkan untuk kain tenun satu hari hanya mampu menghasilkan satu potong kain," terangnya.
Alim sangat berharap tenun ini akan sama berjayanya dengan 14 motif batik Jonegoroan. Batik sedemikian dikenal bahkan anak-anak sekolah mengenakan seragam ini. Oleh karenanya dirinya berharap agar pemerintah memberikan peluang yang sama untuk tenun ini. Setidaknya para Pegawai Negeri Sipil (PNS) mencintai tenun dan menggunakannya di event event penting.
"Selain itu saya harapkan ada promosi ditingkatkan sehingga tenun Bojonegoro mulai dikenal di khalayak ramai," pungkasnya. (Dwi/Kominfo)