KEMISKINAN DAN KEBERADAAN MIGAS BOJONEGORO: APA HUBUNGANNYA ?

-
05 May 2017
121 dilihat

bojonegorokab.go.id - KNote by Kang Yoto. Kemiskinan dan migas di Bojonegoro, dua-duanya benar. Kemiskinan sudah lama ada dan migas baru mulai puncak produksi, pendapatan migas belum sepenuhnya diterima Pemkab. Jadi bagaimana dengan pertanyaan mengapa daerah penghasil migas rakyatnya masih banyak yang miskin? Lalu ditambahi: "Kita harus malu, prihatin dengan keadaan ini".

Jika pertanyaan ini dimaksudkan untuk menyalahkan keadaan, tepatnya program pembangunan Bojonegoro maka perlu diperjelas duduk masalahnya. Namun, Bila pertanyaan itu dimaksudkan untuk refleksi: belajar hidup bersama, menemukan cara menciptakan kesejahtaraan lebih baik. Maka, semangat seperti ini sangat penting.

Untuk keperluan penjelasan hubungan antara kemiskinan dan industri migas dengan semangat refleksi perlu dipahami hal-hal berikut:
1.    Kemiskinan di Bojonegoro sudah ada jauh sebelum migas ditemukan, dieksplorasi dan dieksploitasi. Kemiskinan dan rendahnya kualitas SDM, itu dua hal yang saling terkait dan sama sama ada di Bojonegoro. Jauh sebelum era migas, Dr. C.L.M Penders menyebut sejak era penjajahan Belanda, Bojonegoro telah menjadi salah satu dari dua daerah termiskin di Jawa. Jika menggunakan rumus BPS, setiap orang yang mengaku petani dengan lahan pertanian kurang dari 0,5 Ha termasuk miskin, maka hampir semua petani Bojonegoro berarti hidup dalam kemiskinan, karena mayoritas kepemilikan lahannya kurang dari 0,5 Ha. Belum lagi bila dikaitkan dengan pendapatan yang diciptakan dari lahan tersebut, akibat lahan kering, banjir dan kesalahan produksi;
2.    Usaha untuk mengurangi kemiskinan sudah dilakukan sejak zaman Belanda, yang intinya bagaimana membuat orang Bojonegoro punya pendapatan, lebih sehat dan terampil. Pembangunan waduk pacal zaman Belanda, intensifikasi pertanian sejak era Orde Baru, penataan irigasi, pembangunan embung, jalan pedesaan, industri masuk desa, penggiatan wisata, pengenalan komoditas baru bidang pertanian seperti bawang, jambu, melon dan holtikultura, serta pengembangan SPR bidang Peternakan yang sedang dikerjakan belakangan ini adalah diantara usaha nyata yang arahnya untuk peningkatan pendapatan. Beasiswa dua juta, kesehatan gratis bagi yang tidak mampu, pelatihan tenaga kerja dan insentif investasi di pedesaan, semua ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan dan daya saing Bojonegoro dalam bidang ekonomi. Namun, semua upaya ini belum mampu menuntaskan pengurangan kemiskinan. Masih harus diperluas skala dan jangkauan kewilayahanya.
3.    Lalu bagaimanakah dengan sumbangan Migas? Sumbangan migas yang diharapkan dari sisi tenaga kerja, hanya terjadi pada masa kontruksi yang waktunya sekitar tiga tahun dengan jumlah 5 ribuan tenaga kerja. Selanjutnya, diharapkan dari pengolahan seperti adanya mini refinery. Dari kontruksi, eksploitasi dan industri dalam jumlah terbatas dapat melahirkan kesempatan perdagangan, jasa dan wisata. Namun jumlah tenaga kerja yang tersedia tentu saja masih sedikit dibandingkan dengan angkatan kerja Bojonegoro.
4.    Berkah hadirnya migas diharapkan menghasilkan pendapatan. Sejauh ini telah diperoleh pendapatan Rp 37 M (2009), Rp 169 M (2010), Rp 219 M (2011), Rp 456 M (2012), Rp 421 M (2013), Rp 627 M (2014), Rp 660 M (2015), Rp 642  m (2016). Jumlah inilah yang penggunaannya difokuskan pada pengembangan SDM, infrastruktur yang relevan pada pertumbuhan ekonomi dan pembentukan modal publik, termasuk rencana dana abadi untuk beasiswa abadi. Buat Bojonegoro jumlah ini sudah lumayan, namun belum seberapa dibanding dengan tantangan yang harus diselesaikan. Mengapa pendapatan migasnya baru sedikit? Ini karena saat ICP 2011-2012-2013 lifting baru mencapai 22 juta barrel atau setara 61 ribu barrel per hari. Namun saat lifting naik 2015 sebanyak 31 juta barrel atau setara 86 ribu barrel per hari bahkan 2016 sudah mencapai 68 juta barrel atau setara 188 ribu barrel per hari, harga minyak turun bahkan dibawah 30 USD per barrel. Pendapatan migas ini kadang melahirkan harapan yang tinggi namun dalam kenyataannya kadang jauh dari yang diharapkan. Baru-baru ini Pemerintah pusat menyatakan ada kelebihan salur masing-masing tahun 2014 ada lebih salur Rp 167 M, dan 2015 lebih salur Rp 550 M yang harus dipotong mulai 2016 sampai 2018.  Situasi ini mengharuskan Pemkab Bojonegoro harus pintar-pintar mengelola belanjanya secara tepat, termasuk saat kemungkinan ada lonjakan dana pendapatan.

Jadi kiranya sudah jelas bahwa kehadiran migas itu tidak akan otomatis menyebabkan hilangnya kemiskinan di Bojonegoro dalam sekejap. Kemiskinan Bojonegoro sebenarnya sudah berkurang, dimulai dari 28,38 persen (2006); 26,37 persen (2007); 23,87 persen (2008); 21,27 persen (2009); 18,78 persen (2010); 17,47 persen (2011); 16,60 persen (2012); 15,96 persen (2013); 15,48 persen (2014) dan 15,71 persen (2015). Penurunan ini dimungkinkan salah satunya karena kontribusi sektor migas baik langsung maupun lewat penggunaan anggaran pendapatan yang tepat. Di beberapa daerah yang salah mengelola industri ekstraktif, termasuk migas, kehadirannya bahkan hanya merusak lingkungan, memperparah tingkat korupsi, mental pesta dan konflik sosial, akibatnya tingkat kemiskinan di daerah tersebut tidak berkurang. Situasi inilah yang disebut dengan kutukan sumberdaya alam atau tepatnya kutukan salah kelola sumberdaya alam.
Mari kita berlomba lomba membuat terobosan agar rakyat semakin, sehat, cerdas, trampil, produktif yang mampu menciptakan pendapatannya hingga punya peluang hidup lebih bahagia.
Kelak sejarah akan mencatat bahwa tidak ada kabupaten miskin, yang hanyalah ada kabupaten yang salah urus.

Bojonegoro, 5 Mei 2017