Mengapa Penduduk Miskin di Bojonegoro Berkurang ? Ini Penyebabnya

-
07 Jul 2017
70 dilihat

bojonegorokab.go.id – Dua periode menjadi Bupati Bojonegoro, Suyoto berhasil menurunkan angka kemiskinan, bahkan Bojonegoro keluar dari peringkat sepuluh kabupaten termiskin di Jawa Timur. Namun belum banyak yang mengetahui penyebab angka kemiskinan di Bojonegoro turun. Berikut ini penyebabnya ?
Sesuai data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, angka kemiskikan Bojonegoro terus turun setiap tahun. Pada tahun 2015 lalu, dari jumlah penduduk Bojonegoro sebanyak 1.249.578 jiwa, jumlah warga miskin sebanyak 193.990 jiwa (15,71 persen) dan pada tahun 2016 ini turun menjadi 180.990 jiwa (14,60 persen). Bojonegoro sekarang ini berada diurutan sebelas, di atas Gresik yang berada di urutan dua belas.
Dengan penurunan tersebut menjadikan Bojonegoro melesat melebihi sepuluh kabupaten lain seperti Tuban, Lamongan, Sampang, Bangkalan, Probolinggo, Sumenep Pamekasan, Pacitan, Ngawi, dan Bondowoso. Kesepuluh kabupaten tersebut masih terjerembab di zona merah kabupaten termiskin.
Selain angka kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, maupun Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menggambarkan tingkat kesenjangan pengeluaran diantara penduduk miskin, juga menurun pada sepuluh tahun terakhir.
Indeks kedalaman pada 2006 mencapai 4,75% terus menurun menjadi 2,4% pada 2016. Begitu juga Indeks keparahan dari 1,20% menurun menjadi 0,54% di medio yang sama. Artinya, semakin menurunnya indeks P1 ini, semakin dekat rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Begitu juga dengan menurun P2 ini maka semakin menurun ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Menurut Bupati Suyoto ada beberapa alasan mengapa penduduk miskin di Bojonegoro turun. Yakni masyarakat antusias menyambut perencanaan pembangunan di bidang ekonomi. Hal itu dibuktikan pertumbuhan ekonomi Bojonegoro dalam tiga tahun terakhir  diatas angka Provinsi Jawa Timur. Yakni pada tahun 2013 sebesar 7,48 %, 2014 sebesar 6,06 %, 2015 sebesar 5,70%, 2016 sebesar 5,59%.
“Indeks gini ratio atau ketimpangan pendapatan fluktuatif kita dalam kurun waktu 5 tahun terakhir masih termasuk range tingkat ketimpangan yang rendah. Artinya apa, kualitas pertumbuhan ekonomi kita sudah mengarah pada jalur yang tepat atau on the back untuk menuju pemerataan pendapatan,” kata Bupati Suyoto.
Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meskipun stagnan dalam peringkat ke 26 se jawa timur, namun progresnya sudah mengalami kenaikan. Tahun 2010 62,19%, 2011 63,22%, 2012 64,20%, 2013tahun 64,85%, 2014 65,27%, 2015 66,17%, dan tahun 2016 66,73%.
Bupati yang familier disapa Kang Yoto itu mengungkapkan, sesuai hasil sensus ekonomi (SE) 2016 lingkup usaha atau perusahaan yang baru dirilis pada bulan Juni 2017 kemarin, jumlah usaha sector pertanian mencapai 126.211 atau naik 5,28 di bandingkan hasil SE 2006.
“Hampir 50% dari jumlah pelaku usaha ekonomi merupakan usaha/perusahaan bergerak di bidang perdagangan besar dan eceran, yaitu mencapai 59.165 usaha / perusahaan,” tegasnya.
Selain itu, potensi sumber daya alam (SDA) di Bojonegoro yang cukup menjanjikan telah menjadi magnet bagi para investor maupun warga luar daerah untuk migran ke Bojonegoro. Mereka datang untuk mencari pekerjaan maupun berwira usaha mengadu nasib mengais rezeki di Bojonegoro.
“Ini adalah salah satu fenomena tumbuhnya pelaku usaha di Bojonegoro. Disamping iklim  bisnis yang kondusif serta di dukung kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro,” ucap Kang Yoto.
Bupati dua periode itu menjelaskan ada tiga penyebab sektor perdagangan mendominasi di Bojonegoro. Pertama, sektor perdagangan secara  kemampuan individu hanya membutuhkan  kemauan dan kemampuan modal dan langsung berinteraksi dan tranksaksi dengan konsumen, sedangkan sektor industri, konstruksi, jasa, pendidikan, dll membutuhkan keahlian khusus (skill), baik pendidikan, ketrampilan atau pengalaman.
Kedua, manajemen pengelolaan usaha paling praktis di bandingkan kegiatan ekonomi sektor lainnya. Ketiga proses usaha cukup mudah, beli/kulakan di jual sudah menghasilkan keuntungan, meskipun harus tetap mengantisipasi kegagalan atau bangkrut.
“Usaha ini tumbuh karena pendatang dari luar daerah melihat Bojonegoro sebagai sarang madu, pangsa pasar baru. Kemudian penduduk pribumi yang melihat peluang itu terbuka lebar dan harus dimanfaatkan,” tuturnya panjang lebar.
Selain sektor perdagangan, menurut Kang Yoto, lapangan usaha lain yang mendominasi dari sisi jumlah usaha adalah industry pengolahan 19,55 %, penyedia akomodasi 16,98%, jasa lainnya 4,64%, pendidikan 2,76%.
“Industri pengolahan ini, cukup strategis karena selain sebagai pusat oleh-oleh, Bojonegoro juga sebagai salah satu sumber kerajinan kayu di Jawa Timur, seperti meubelair, relief dan ukiran lainnya,” tegasnya.
Tercatat pada tahun 2010 sebanyak 6,02%, tahun 2011 5,34%, tahun 2012 5,40%, tahun 2013 5,47%, tahun 2014 5,84%, tahun 2015 6,60%, dan tahun 2016 6,29%. Pertumbuhan industri pengolahan ini, lanjut Kang Yoto,  sangat membutuhkan kreasi, inovasi dan skill yang mumpuni, sehingga keberadaan SDM maupun SDA di Bojonegoro sangat menunjang.
Sementara terkait lapangan usaha penyedia akomodasi dan konsumsi, sebagai destinasi baru, baik wisata maupun pekerjaan, ada banyak membutuhkan tempat istirahat seperti penginapan, hotel, home stay, begitu juga kebutuhan kuliner seperti rumah makan, resto serta warung makan kecil lainnya. Kegiatan ini, kata Kang Yoto, terus mengalami peningkatan.
Untuk penyedia konsumsi, misalnya. Pada tahun 2010 sebanyak 0,05 %, kemudian meningkat menjadi 0,61% di tahun 2011, 0,64% di tahun 2012,  0,65% di tahun 2013, 0,71% di tahun 2014, 0,84% di tahun 2015, dan meningkat lagi pada tahun 20116 menjadi  0,86%.
Sedangkan untuk penyedia makan dan minum tahun 2010 tumbuh 0,68%, 0,61% di tahun 2011, 0,64% di tahun 2012, 0,65 di tahun 2013, 0,71% di tahun 2014,  0,84% % di tahun 2015, dan  0,86% pada tahun 2016.
“Pertumbuhan sektor usaha perdagangan ini secara kasat mata dapat diliihat. Perdagangan  eceran dengan berbagai komoditas menjamur di setiap pusat keramaian. Begitu pula  bangunan ruko banyak berdiri di jalur pasar kabupaten, termasuk pembangunan dan renovasi kios pasar di berbagai wilayah kecamatan dan desa,” ungkap Kang Yoto.
Kondisi tersebut ditambah sering munculnya komoditi baru sebagai barang dagangan dan cukup menarik masyarakat karena murah sehingga kegiatan usaha perorangan terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2010 mencapai 7,48%, tahun 2011menurun 6,80%, tahun 2012 meningkat lagi menjadi 7,35%, tahun 2013 menjadi 7,57%, 2014 menjadi 7,92%, 2015  menjadi 9,07%, dan tahun 2016 meningkat lagi menjadi 8,91%.
“Dengan meningkatnya usaha ini yang perlu diperhatikan  adalah tata ruang terkait keindahan kota dan keasrian kota, serta kebersihan lingkungan. Sekarang kita sedang mempersiapkan itu semua,” ujarnya.
Tumbuhnya usaha ini berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja terserap. Karena sebagian besar usaha di sini termasuk dalam lingkup usaha mikro, kecil, menengah dan usaha padat karya. Yakni 34,85% untuk perdagangan besar, 20,20% perdagangan eceran, 14,74% usaha industri pengolahan dan lapangan usaha penyedia akomodasi dan konsumsi.
“Distribusi tenaga kerja cukup sebesar sehingga mampu mengurangi pengangguran,” tegas Kang Yoto.
Jumlah tenaga kerja hasil SE 2016 sebanyak 320.793 tenaga kerja. Hal ini, tambah Kang Yoto, tak menggambarkan sejumlah itu individu yang bekerja di sektor selain pertanian, bisa jadi satu orang/industri bekerja di dua lapangan usaha yang berbeda, karena tenaga kerja tidak harus fulltime. Dengan bekerja minimal satu jam berturut  - turut (tanpa putus) dalam seminggu sudah terhitung tenaga kerja, tidak pada jumlah atau kuantitasnya.
“Keberadaan para pelaku usaha sangat bermanfaat karena dapat menciptakan lapangan pekerjaan, memerangi penangguran, menjaga pemerataan pendapatan dan mengentaskan kemiskinan,” pungkas Kang Yoto.(dwi/kominfo)