Kang Yoto Bawa Demokrasi Bojonegoro ke Forum Dunia

-
30 Aug 2015
372 dilihat

bojonegorokab.go.id – Untuk kesekian kalinya Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, Suyoto, mendapat undangan di forum dunia. Kali ini, Suyoto, mendapatkan undangan acara Buntwani  “The Next Step in Innovation for Good Governance: Moving the dialogue forward from potential to impact” di Misty Hills Country Hotel, Johannesburg, Afrika Selatan pada Selasa dan Rabu, 25-26 Agustus 2015.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh kerjasama TechSoup Global, Open Institute and Making all Voices Count ini menjadi hal yang luar biasa bagi Kang Yoto, sapaan akrab Bupati Bojonegoro. Sebab adanya demokrasi Afrika Selatan hanya  kurang lebih lima tahun lebih awal dari Indonesia dan kini tampak sudah matang.

Sehingga hal itu menjadi pengalaman tersendiri bagi dirinya untuk mendapatkan pengetahuan dan jaringan peningkatan kapasitas pemerintahan bagi Bojonegoro. Karena itu dalam kesempatan itu, Kang Yoto sengaja datang dua hari sebelum acara dimulai untuk mendapatkan kesempatan istirahat dan melihat perkembangan Johannesburge.

Dalam surat elektronik (Surel) yang dia kirimkan, Kang Yoto, bercerita. Setelah tiba Johannesburg,  dia memilih mengunjungi museum apartheid. Cara ini dipilih Kang Yoto karena akan dapat lebih cepat bagi dirinya memahami sejarah Arfika Selatan. Terutama apa latar belakang politik apartheid dan proses demokratisasi yang melahirkan tokoh menonjol Nelson Mandela.

Di depan Museum Apartheid, Bupati yang dilahirkan dari keluarga petani di tepi Sungai Bengawan Solo, itu mendapati pintu masuk untuk orang kulit putih dibedakan dangan non kulit putih. Karena sejak memerdekaan dari Inggris, orang-orang kulit putih yang umumnya keturunan Inggris dan Belanda berjumlah kurang lebih 11 persen membentuk pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu yang hanya diikuti laki-laki kulit putih.

Karena itu hampir dalam segala hal, terdapat pembedaan dengan tegas dan pengistemewaan orang kulit putih. Sistem ini yang disebut dengan apartheid. Sistem ini berakar pada sejarah yang dimulai abad ke 1662 atau abad ke 17.   

Dalam sejarah itu disebutakan, nenek moyang orang kulit putih dari Inggris dan Belanda datang untuk membuka pertambangan berlian, emas dan chrome.  Mereka datang membawa pekerja dari Asia.
Penduduk asli terpinggirkan karena tidak memiliki kemampuan dan peralatan. Pemerintah kolonial Ingris tentu saja memberikan dukungan militer.

Dominasi ekonomi dan politik kulit putih memang membawa ekonomi Afrika  Selatan paling maju di antara negara-negara Africa. Namun kesenjangan antara kaya miskin sangat tinggi.

Penduduk non kulit putih yang mayoritas berkulit hitam lebih banyak hidup dalam kemiskinan, tidak memiliki hunian yang layak, tingkat pendidikan rendah dan mendapatkan fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Semua bentuk perlawanan terhadap rezim apartheid akan menyebabkan penjara bagi pelakunya, termasuk Nelson Mandela yang sempat menghuni penjara selama 27 tahun, dan baru dibebaskan oleh Presiden F.W. De Klerk tahun 1990.  

Proses negoisasi demokrasi memakan waktu hampir 3 tahun, hingga menghasilkan pemilu demokratis pertama tahun 1994 yang diikuti oleh seluruh penduduk usia 18 tahun ke atas laki maupun perempuan, apapun warna kulitnya, berdasar undang-undang baru yang dirancang untuk menghormati HAM.

Pemilu ini dimenangkan partai milik Mandela dan mengantarkannya menjadi Presiden. Namun perjuangan Mandela setelah berkuasa tidak kalah beratnya dibanding dengan perjuangannya mendekam di penjara.

Tantangan terberat Mandela adalah tuntutan balas dendam dan kehendak dominasi  oleh kulit hitam. Namun Mandela menjawab dengan tegas: "Tujuan membangun demokrasi bukanlah mengubah dominasi dari kulit putih ke kulit hitam. Demokrasi itu untuk hidup berdampingan dengan saling respek dan menghargai".

Mandela membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dan salah satu kalimatnya yang terkenal: "Masa lalu dapat dimaafkan walau tidak untuk dilupakan".

Selama memerintah Mandela membangun 700.000 rumah layak untuk orang miskin, memberi fasilitas kesehatan gratis kepada anak-anak, dan melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Tentu yang paling menonjol adalah keberhasilan Mandela dalam menyembuhkan luka masa lalu dan menyatukan rakyat Afrika Selatan apapun kulit dan keyakinannya. Dari sejarah itulah, saat ini pergi kemanapun di kota besar akan bertemu orang berlalu lalang, berbeda warna kulit dan keyakinan dalam damai.

Dari sejarah itu, Kang Yoto kemudian berpikir bahwa demokrasi di Bojonegoro tidak kalah hebatnya. Kemudian dia membandingkan, Mandela membangun demokrasi dengan musuh yang secara simbolik sangat jelas yakni apartheid atau kulit putih.  Sedangkan Bojonegoro, membangun demokrasi melawan watak dan sikap otoriter, radikal, ingin benar dan menang sendiri justru dari sesama saudara, yang kulit dan agama yang sama.

Padahal siapa  yang dilawan sebenarnya tidak jelas. Karena itu, tugas transformasi sebenarnya adalah membangun terwujudnya Bhineka Tunggal Ika, penghargaan terhadap kemanusian dan keadilan, moralitas atas dasar ketuhanan dan permusyawaratan yang dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan memerlukan usaha keras dan panjang.

Namun baik Afrika Selatan maupun  Bojonegoro, saat ini sama-sama menghadapi tantangan bagaimana merawat demokrasi dan menjadikannya efektif untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, keadilan dan kemajuan berkelanjutan. Demokrasi, lanjut dia, dimana Pemerintah hadir atas semua masalah rakyat, pemimpin nyambung dengan yang dipimpin, dan penggunaan kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk inilah, bagi Kang Yoto, pertemuan Buntwani terasa sangat relevan. Karena pertemuan yang dihadiri 60 orang dari berbagai dunia terutama Afrika, Eropa, Asia dan Usa, dengan latar belakang berbeda, mulai dari pemerintah, LSM, dan lembaga donor memiliki semangat sama bagaimana mematangkan demokrasi.

Dia juga meyakini, dengan pertemuan ini keterbukaan data dan inovasi penggunakan teknologi informasi akan memperkuat efektifitas akuntabilitas publik, lahirnya berbagai terobosan yang mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Acara yang di ikuti Kang Yoto kali ini berbeda dari biasanya. Di sini  tidak ada pembicara, tidak ada kertas dan tidak ada presentasi. Masing-masing dapat menawarkan pengalaman dan usulan lalu berdiskusi kecil sesuai minatnya. Peserta yang datang adalah orang-orang terpilih yang sangat kompeten di bidangnya dan telah memiliki karya.

Kang Yoto sendiri mengaku  tertarik dengan pengalaman Bank Dunia dalam membanguan management banjir berbasis masyarakat dan peta drone, disamping open data berbasis masyarakat di Kenya. Menurut dia,  apa yang dilakukan mirip dengan di Bojonegoro, bedanya penggunagaan IT sudah lebih dahulu.

Dalam kesempatan itu, Kepada Edward Charles Anderson, Senior ICT Policy Specialist (Kantor Tanzania), Kang Yoto menyatakan ketertarikannya dan  menyanggupi untuk memberikannya secara cuma-cuma.
Begitu juga dengan Ptatfom Ushahidi, perusahaan non profit di Nairobi juga sangat menarik. Selain membuka open source secara gratis, Daudi Were,  salah seorang pendirinya membuat terobosan yang luar biasa, berbisnis tanpa harus memulainya dengan uang dan itu dibuktikan lewat Ushahidi.

Pertemuan itu pun tak disia-siakan Kang Yoto. Dia meceritakan soal pembangunan demokrasi di Bojonegoro, juga bagaimana penggunaan teknologi informatika.  Demokrasi di Bojonegoro dibangun bersama-sama, tidak hanya oleh pemimpinnya, tapi juga rakyat dan seluruh stake holder. Seperti dialog publik hari jumat, SMS, dan LAPOR sebagai upaya membangun hubungan dengan masyarakat.

Penjelasan yang disampaikan Kang Yoto menarik salah satu peserta, Muzambique. Dia  sangat terinspirasi soal demokrasi Bojonegoro dan akan membawanya  ke negerinya. Sedangkan Dr George Mukundi African United Council berbicara agak panjang di sesi penutupan hanya untuk mengatakan trimakasihnya atas pencerahan demokrasi model Bojonegoro.

Bagi Kang Yoto, Bojonegoro adalah bagian dari dunia, lilin kecil yang  dinyalakan untuk merawat dan menggunakan demokrasi untuk membuat hidup bersama lebih baik terlihat oleh dunia. Karena itu dia mengajak untuk merawat lilin itu bersama.