Dosen Unigoro Teliti Anggrek Dendrobium capra, Tumbuhan Langka yang Hanya Ada di Hutan Jati Bojonegoro

M. Khoirudin
08 Sep 2025
62 dilihat

Dr Laily Agustina dosen Universitas Bojonegoro sedang menunjukkan hasil penelitiannya tentang anggrek langka Dendrobium capra/Foto: Dok Pribadi

Bojonegorokab.go.id – Hutan Jati di Kabupaten Bojonegoro ternyata menyimpan rahasia alam yang tak banyak diketahui. Salah satunya menyimpan kekayaan flora, yakni anggrek Dendrobium capra. Anggrek ini pun kemudian diteliti oleh Dr. Laily Agustina, dosen Ilmu Lingkungan Universitas Bojonegoro.

Anggrek yang berada di wilayah hutan Bojonegoro ini ternyata tumbuhan endemik langka yang dikenal dengan nama Dendrobium capra

Dr. Laily Agustina menuturkan penelitian yang dilakukannya berawal dari “kekosongan jawaban” ketika Bojonegoro menyiapkan berkas Dossier Geopark untuk diajukan ke UNESCO Global Geopark (UGGp). Ia kemudian mulai mengumpulkan referensi ilmiah, satu demi satu, hingga akhirnya menemukan catatan keberadaan flora yang ternyata menjadi kebanggaan baru Bojonegoro.

Penelitian awal yang menjadi pembanding adalah penelitian Yulia dkk. (2008) menyebut Dendrobium capra pernah ditemukan di dua wilayah yaitu Madiun dan Bojonegoro. Tetapi 12 tahun kemudian, hasil pemantauan Trimanto dkk. (2022) menyajikan kenyataan bahwa di Madiun anggrek ini sudah hilang. Praktis hanya tersisa di hutan jati Bojonegoro dengan populasi 215 individu yang tersebar di RPH Sugihan (17 individu), RPH Sukun (43 individu), dan RPH Dodol (155 individu).

Anggrek Dendrobium capra yang hanya ada di hutan jati Bojonegoro

“Bojonegoro sekarang jadi satu-satunya tempat tumbuhnya Dendrobium capra. Ada rasa bangga, tapi sekaligus beban, karena jumlahnya semakin menurun,” ujar Dr. Laily dengan nada serius, saat diwawancara Senin (08/09/2025). 

Anggrek Dendrobium capra memiliki pesona yang khas. Batangnya tegap dan panjang hingga 40 cm, dengan daun hijau kusam berbentuk bundar telur memanjang. Bunganya kecil, berdiameter 2,5–3 cm, namun menawan dengan warna hijau kekuningan berpadu garis ungu di bagian bibir. Tumbuh menempel pada batang jati tua berusia lebih dari 50 tahun, keindahan anggrek ini seakan bersembunyi di balik kerindangan hutan.

Namun di balik kecantikannya, Dendrobium capra menyimpan kerentanan. Bunga ini hanya mekar sekali dalam setahun, pada Februari, sehingga laju reproduksinya lambat. Ditambah habitatnya yang sangat spesifik, membuat spesies ini semakin mudah punah. Ironisnya, pohon jati berusia lebih dari 50 tahun yang merupakan tempat anggrek ini hidup, sering kali ditebang karena sudah masuk masa panen.

“Keberadaan anggrek ini mengingatkan saya bahwa hutan jati bukan hanya aset ekonomi. Ia adalah ekosistem yang memberi ruang hidup bagi banyak organisme. Ada kecantikan tersembunyi di dalamnya, dan itu adalah Dendrobium capra,” ungkapnya.

Bagi Dr. Laily, anggrek endemik ini lebih dari sekadar objek penelitian. Ia mengibaratkan Dendrobium capra sebagai perempuan Bojonegoro yang cantik, sederhana, tidak mencolok, namun tangguh bertahan di daerah kering. “Flora ini bisa menjadi simbol kebanggaan Bojonegoro. Tetapi kebanggaan itu harus dibarengi kesadaran untuk melindunginya,” tegasnya.

Status Dendrobium capra saat ini termasuk Endangered (EN) menurut IUCN, dan sedang diusulkan naik menjadi Critically Endangered. Kondisi ini memberi peluang besar bagi penelitian konservasi dan pengembangan metode reintroduksi. “Biodiversitas itu sendiri adalah kekayaan. Tidak semua daerah punya hutan jati, dan belum tentu di semua hutan jati ada anggrek ini. Bojonegoro beruntung, maka sudah seharusnya kita jaga bersama,” tambahnya.

Meski demikian, publikasi tentang anggrek ini bukan tanpa risiko. Dr. Laily sempat khawatir jika informasi ini justru memicu perburuan liar. “Harapan saya tidak begitu. Saya ingin publikasi ini menyadarkan lebih banyak pihak, agar upaya konservasi segera dilakukan sebelum terlambat,” katanya.

Ia mengajak masyarakat untuk mengagumi dari jauh, tanpa harus memiliki. Anggrek ini, menurutnya, bisa menjadi inspirasi seni Bojonegoro, misalnya dalam motif batik atau karya lukis tanpa harus dicabut dari habitatnya. Sosialisasi lintas generasi dan komunitas juga diperlukan, agar anggrek ini diakui dan dijaga bersama.

Dr. Laily menekankan pentingnya dukungan pemerintah daerah. Langkah yang bisa ditempuh antara lain menetapkan habitat Dendrobium capra sebagai kawasan lindung, mengangkatnya sebagai flora kebanggaan Bojonegoro, hingga mengembangkan program reintroduksi untuk memperluas habitatnya.

“Kalau kita bisa menjaga flora ini, Bojonegoro tidak hanya dikenal sebagai daerah migas atau kayu jati. Kita juga punya identitas lain yaitu rumah bagi flora langka dunia. Itu kebanggaan yang tidak ternilai,” pungkasnya.[zul/nn]