Takim Kok Gito-Gito, Menjadikan Pantomim Sebagai Jembatan Kesetaraan Bagi Teman Tuli

M. Khoirudin
27 Sep 2025
31 dilihat

Takim Kok Gito-Gito berada di Actore Mediaart yang berlokasi di Desa Kauman, Bojonegoro, yang menjadi taman inklusi untuk kesetaraan teman tuli/ Foto: Diba

Bojonegorokab.go.id – Perjalanan panjang Takim Kok Gito-Gito-begitu nama panggungnya-sebagai seniman pantomim sekaligus pengelola komunitas teman tuli dan teman dengar, bukanlah kisah yang lahir dalam semalam. Saat ditemui di Actore Mediart di kawasan kota Bojonegoro, Rabu (24/09/2025), ia menuturkan perjuangan berat yang sudah ditempuh selama 17 tahun. Sejak dulu, ia tergerak untuk memberi ruang bagi teman tuli agar bisa berkarya dan bersosialisasi.

Semua berawal setelah ia lulus SMA. Saat itu, ia kerap beraktivitas kesenian di belakang Sekolah Luar Biasa (SLB) Perak. Hampir setiap hari ia melihat anak-anak SLB yang melintas di kawasan tersebut. Ia merasa mereka masih tersisihkan dalam kehidupan bermasyarakat, hingga muncul tekad untuk mengajak mereka berkarya bersama melalui pantomim.

Takim kemudian mengumpulkan 20 anak tuli, yang ia sebut sebagai “teman tuli.” Komunikasi di awal tentu bukan hal mudah, hingga ia memutuskan mempelajari bahasa isyarat. Pantomim dipilih sebagai medium, karena mampu menyampaikan pesan tanpa kata. Melalui seni inilah ia memberi ruang untuk menumbuhkan rasa percaya diri, membangun mental, dan melatih kemampuan bersosialisasi.

Namun, jalan yang ditempuh tidak pernah ringan. Selama 15 tahun pertama, ia dan teman-temannya berjalan tanpa tempat naungan. Aktivitas berkarya dilakukan berpindah-pindah, di bawah teriknya matahari dan derasnya hujan. Meski demikian, semangat mereka tidak pernah padam.

“Kadang kami latihan di tempat seadanya, kadang hanya di halaman terbuka. Tapi saya tidak mau menyerah, karena saya percaya anak-anak ini punya potensi besar,” ujar Takim.

Baru dalam dua tahun terakhir, ia akhirnya berhasil mewujudkan impiannya dengan membangun sebuah kedai kecil dari hasil modal sendiri. Kedai itu ia beri nama Actore Mediart, dan di sebelahnya berdiri sebuah halaman inklusi yang difungsikan sebagai ruang terbuka untuk berkarya bersama.

Actore Mediart dan halaman inklusi kini menjadi rumah kedua, tempat anak-anak tidak hanya berlatih pantomim, tetapi juga belajar bersosialisasi dengan masyarakat, mengelola perekonomian lewat greenhouse dan peternakan, hingga menjadi ruang belajar bahasa isyarat bagi pengunjung.

“Tujuan saya hanya satu, bagaimana anak-anak ini tumbuh dengan mental yang baik untuk bersosialisasi di tengah masyarakat,” tegasnya.

Perjuangan panjang itu bukan sekadar omongan belaka, melainkan dibuktikan dengan prestasi nyata. Anak didiknya, Septian Adif Saugi, meraih juara 1 pantomim FLS2N tingkat nasional di Makassar, sementara Yoga Falakh Ramadhan menyabet juara 2 pantomim FLS2N nasional di Surabaya. Takim sendiri pun menorehkan prestasi dengan tampil sebagai pembicara dalam forum TEDx di Jalan Tunjungan Surabaya dan dipercaya sebagai juri seleksi nasional FLS2N.

Salah satu momen paling berkesan bagi pemilik nama asli Moch Mustakim ini, adalah ketika mereka menggelar pertunjukan selama tujuh hari tujuh malam, dengan panitia 30 orang yang terdiri dari 28 teman tuli dan dua teman dengar. Pertunjukan itu sukses besar, menarik pengunjung dari berbagai daerah, sekaligus menjadi bukti bahwa teman tuli mampu berada di posisi depan dan berdiri sejajar dengan masyarakat umum.

“Bagi saya, ini bukan hanya tentang seni. Ini tentang bagaimana anak-anak ini bisa berdiri tegak, percaya diri, dan menunjukkan pada dunia bahwa mereka mampu,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Menurut Takim, teman tuli di Bojonegoro memiliki keistimewaan tersendiri. Mereka bukan hanya terampil, tetapi juga memiliki mental kuat untuk terjun ke masyarakat. Ia berharap pemerintah maupun pihak terkait lebih memperhatikan keberadaan mereka, bukan semata melalui bantuan materi, melainkan dengan penyediaan fasilitas yang benar-benar bisa membantu aktivitas sehari-hari teman tuli.

“Setidaknya ada satu fasilitas yang bisa mengantarkan mereka menyelesaikan kebutuhannya,” ujarnya dengan penuh harap.

Kini, Actore Mediart dan halaman inklusi berdiri bukan hanya sebagai tempat berkesenian, tetapi juga sebagai simbol keteguhan hati seorang Takim. Perjuangan yang ditempuh di bawah teriknya matahari dan derasnya hujan selama 17 tahun akhirnya berbuah manis. Anak-anak yang dahulu tersisihkan kini bisa berdiri di panggung nasional, meraih prestasi, dan menjadi bagian penting dari masyarakat.

Takim percaya, selama ada ruang dan kesempatan, teman tuli Bojonegoro akan terus berkembang, berdiri sejajar, dan berkontribusi nyata bagi masyarakat luas. Dan itulah cita-cita yang terus ia perjuangkan yaitu menjadikan seni pantomim sebagai jembatan kesetaraan.