bojonegorokab.go.id - Para pengrajin batik Bojonegoro terus melakukan berbagai upaya dalam menghadapi persaingan batik di pasar setempat. "Persaingan di wilayah sendiri saja belum bisa diatasi, apalagi keluar. Tantangan ini yang terus kita carikan solusinya," ungkap Muhajir, pengrajin asal kecamatan Ngasem, Bojonegoro, di sela-sela diskusi bertajuk Sosialisasi Batik cap alternatif dan Buku Batik Bojonegoro, Sabtu (20/02/2016). Menurutnya salah satu tantangan dalam persaingan batik adalah maraknya batik printing dari produsen luar daerah yang dikerjakan dalam sekala besar sehingga mereka mampu menekan biaya produksi. "Menyikapi tantangan ini, perajin Batik Jonegoroan dituntut untuk mengurangi biaya produksi dan saat ini para perajin batik Jonegoroan mulai menggunakan cap batik alternatif," kata Muhajir. Dia menjelaskan, Cap batik alternatif adalah cap batik hasil kreatifitas perajin batik jonegoroan dengan memanfaatkan bahan yg cukup sederhana dan murah, serta mudah didapatkan. "Bahannya menggunakan gipsum, triplek bekas dan aluminium bekas," cetusnya. Dengan cap batik alternatif ini, kata Muhajir, para perajin optimis bisa menghadapi pasar dengan lebih baik. "Ini merupakan terobosan yg akan sangat membantu kami dalam menghadapi persaingan harga. Dan tentunya butuh dukungan dari semua pihak," imbuhnya. Herlyn, perajin batik asal Desa Sukoharjo Kecamatan Kalitidu menambahkan, cap batik alternatif memudahkan para perajin batik untuk berinovasi dalam pengembangan motiv batik. Sebab, kata dia, dengan bahan yang sederhana perajin dapat dengan mudah membuat cap yang selama ini selalu bergantung dari tempat lain (produsen cap). "Dari segi teknik produksi kami merasa cukup siap utk menghadapi persaingan ini," katanya. Dalam diskusi tersebut, hadir 14 perwakilan perajin batik jonegoroan dari Kecamatan Ngasem, Kecamatan Kalitidu, dan Kecamatan Dander. LSM Ademos yang mendampingi program Kemandirian Industri Kreatif Batik dan Kaos Jonegoroan juga hadir. Selain itu, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) yang menggagas dan membiayai program ini juga hadir. Perwakilan EMCL, Edi Arto mengatakan, program ini merupakan komitmen perusahaannya dalam pengembangan ekonomi masyarakat sekitar wilayah operasinya. "Dengan persetujuan SKK Migas, program ini sekaligus bentuk dukungan kami dalam pengembangan batik jonegoroan sebagai kekayaan khazanah industri kreatif di Bojonegoro," cetusnya. Rangkaian pertemuan dan diskusi dalam program ini, jelas Edi, diharapkan mampu menggulirkan berbagai strategi dalam menguatkan pasar dalam wilayah Bojonegoro. "Kekuatan industri kerakyatan adalah persatuan dan kekompakan pelaku usaha," ujarnya. Edi mengatakan, para perajin harus bersatupadu serta saling berbagi pengalaman dan strategi usaha. "Bojonegoro pasti bisa," ucapnya. (Git/Kominfo)